Rabu, 24 Februari 2016

CIPUTRA: Libatkan Entrepreneur Sukses Sebagai Pengajar di Kampus



Saat itu saya begitu antusias menjelaskan mengapa para kader-kader koperasi perlu untuk juga membidani lahirnya entrepreneur-entrepreneur baru di tanah air. Saya himbau mereka untuk bersedia menjadi pembimbing, guru bagi anak-anak dan generasi muda di sekitar mereka untuk berentrepreneur.

Saya juga jelaskan bagaimana Universitas Ciputra menanamkan semangat entrepreneurship itu sejak dari hari pertama para mahasiswa baru memasuki lingkungan kampus. ‘Perpeloncoan’ bukanlah hal yang penuh intimidasi dan tugas-tugas yang mustahil dan konyol apalagi kekerasan fisik, verbal atau mental, tetapi lebih mendidik dan bermakna, yaitu menyuruh para mahasiswa baru terjun berjualan ke pasar-pasar dan tempat-tempat keramaian.  Selain itu setiap Rabu, mereka juga dibagi menjadi kelas-kelas kecil yang beranggotakan mahasiswa dari lintas jurusan. Mereka dilatih untuk berpandangan luas, tidak sempit terbatas dalam disiplin ilmu atau jurusan yang ditekuni saja.

Seketika saya berhenti berbicara. Sebabnya karena para peserta yang hadir tampak terpecah konsentrasinya dengan banyak lalu lalang para pelayan yang menghidangkan makanan. Saya tak mau melanjutkan uraian saya, sementara para peserta Rapat Koordinasi Nasional Pemberdayaan Koperasi dan UMKM tidak bisa berkonsentrasi penuh pada hal-hal penting yang saya sampaikan. Akhirnya keadaan menjadi lebih tenang dan saya lanjutkan apa yang saya hendak sampaikan.

Di negara maju, entrepreneurship diajarkan di bangku kuliah dan terbagi dalam dua tahap. Tahap pertama yang memakan waktu dua tahun mewajibkan mahasiswa untuk mempelajari entrepreneurship dalam tataran teori. Kemudian 2 tahun berikutnya, teori-teori yang sudah mereka pelajari itu diterapkan dalam pelaksanaan di kehidupan nyata.

Mengapa kami mulai dari hari pertama? Kami yakin bahwa bangsa kita belum bangsa entrepreneur. Masih das sain, belum das solis. Di Universitas Ciputra saya jelaskan bahwa komposisi pengajarnya juga tidak sepenuhnya kalangan akademisi. Setengah dari jumlah pengajar UC berlatar belakang akademis. Setengahnya lagi berlatar belakang entrepreneur! Inilah yang saya yakin membedakan Universitas Ciputra dari kampus-kampus lainnya. Sementara universitas lainnya menolak pengajar yang tak memiliki kualifikasi akademik mumpuni meskipun mereka sudah sukses sebagai entrepreneur atau berpengalaman dalam bidang apapun terutama yang berhubungan dengan bisnis.

Hal ini mengingatkan saya pada pertemuan konferensi internasional Unesco yang saya hadiri sehari sebelumnya di Hotel Sultan. Mr. Kim, sang moderator dari Korsel yang memandu diskusi saat itu, mengatakan bahwa 2 chaebol atau konglomerat di Korsel mampu sukses meski tak menggenggam titel sarjana. Jadi saya pikir, orang-orang seperti inilah, entrepreneur-entrepreneur super sukses tanpa gelar akademis, yang justru harus diundang mengajar generasi muda kita! 

Selengkapnya: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar